Lampu lalu lintas yang berwarna hijau kini telah berubah makna, yaitu tanda untuk membunyikan klakson. Kita semua tahu sebenarnya bahwa fungsi lampu lintas berwarna hijau itu adalah tanda kendaraan untuk berjalan namun karena saking tidak sabarnya maka jika dalam hitungan sepersekian detik saja tidak berjalan maka bunyi klakson saling bersahutan.
Memang Kita kini ada di era serba cepat. Semua ingin serba cepat. Ada mi instant, ada Mobile Banking, ada Delivery Service dan berbagai fasilitas yang tidak perlu menunggu lama. Ada banyak hal yang positif dan memacu motivasi kita sebenarnya di era serba cepat ini. Namun semuanya itu berpengaruh kepada Kita secara pribadi, disadari atau tidak. Di saat semua serba cepat maka kesabaran juga seperti sebuah barang langka di era digital saat ini. Kesabaran ada batasnya, kalau kata orang-orang masa kini. Kalau tidak cepat, mana bisa sabar?
Seorang kawan pernah menulis di twitter, di mana mencari kesabaran? Saya menjawab dengan bercanda, coba aja cari di toko serba ada. Lalu dia bertanya kembali, di mana rak kesabaran di toko serba ada itu? Dia ingin membelinya. Mendapat pertanyaan ini saya menjadi merenung selama berhari-hari. Apa benar toko serba ada masa kini perlu menyediakan rak kesabaran yang bisa dibeli? Ketika kita mulai tidak sabar kita tinggal mendatangi rak itu dan membeli sabar sehingga kita tidak kehabisan persediaan sabar.
Saat merenungkan tentang kesabaran ini, sore tadi saya melihat sebuah film pendek berjudul Walker, karya Tsai Ming-liang. Karya-karya Tsai Ming Liang memang tergolong berbeda dari karya sutradara kebanyakan. Dia suka menuturkan sebuah cerita dengan penataan kamera dengan satu sudut pandang. Jadi kita seperti melihat sebuah panggung dan bebas melihat semua sisi, bagai sebuah foto dalam bingkai yang bergerak tanpa berganti sudut pandang. Termasuk film pendeknya Walker ini yang menunjukkan seorang biksu yang berjalan dengan gaya lambat sekali sementara orang-orang di sekitarnya seperti biasanya. Ada yang cepat berjalan dengan terburu-buru, ada yang melakukan aktifitas seperti biasa sementara biksu ini sengaja melambatkan semua gerakannya. Tak jarang orang-orang di sekelilingnya melihatnya dengan heran.
Bagi saya, tentu film pendek ini bukan mengajarkan sebaiknya berlambat-lambat saja dalam melakukan apapun. Namun hati saya menjadi tersentak, jiwa saya menjadi bertanya kepada kedalaman hati. Gerakan lambat itu adalah sebuah proses seorang manusia yang sabar akan proses di dalam kehidupan. Saat apa yang kita inginkan tidak kunjung datang, kita tetap sabar menanti yang terbaik dari Sang Khalik. Saat orang-orang di sekitar kita tiba-tiba menjadi sangat menyebalkan, tetap sabar menghadapi mereka. Saat kehidupan terasa membosankan bahkan saat kita ada dalam kondisi terpuruk sekalipun, kita berusaha sabar untuk terus bangkit dan tidak menyerah.
Kesabaran adalah wujud kita melihat sebuah proses. Kesabaran adalah langkah nyata menanti dengan tetap melakukan hal-hal terbaik.
Saya diajar banyak mengenai kesabaran. Bahkan saya menyebut proses saya hidup selama ini seperti naik anak tangga. Satu per satu, tahap demi tahap, semua ada langkahnya yang sudah disiapkan. Saya tentu sering jatuh dan gagal dalam proses sabar itu. Namun saya berusaha bangkit lagi dan terus bangkit lagi. Sabar menanti jawaban atas doa-doa saya, sabar menghadapi orang-orang yang selalu tidak sabar dan sering marah-marah, sabar terhadap diri saya sendiri yang sering gagal dalam banyak hal. Bukankah Sang Khalik juga selalu sabar mengahdapi kerewelan dan keribetan saya selama ini? Tidak bisakah saya sedikit saja bersabar juga? Itu yang selalu saya ingat jika saya mulai tidak sabar akan hal apapun.
Jadi di manakah letak rak sabar itu? Saya mendapatkan sedikit pencerahan dari Sang Khalik bahwa :
Sabar itu bukan dicari tetapi diusahakan.