Bertalu-Talu


Dayung-dayung perahu
Sementara hati bertalu-talu
Ada sebuah lagu
Iramanya syahdu
Apakah makhluk jadi terpaku?
Aku masih di atas perahu
Di bawah bintang kemilau
Tuntunan telah membawaku
Sinar benderang belum berlalu
Engkaukah yang bernama cintaku?
Mengucap namamu
Masih bergetar bibirku
Aku tahu,
Aku tak sedang menantimu
Hanya sedang dayung-dayung perahu
Dari fajar hingga senja mendayu-dayu
Sesekali semilir bak mantra meramu
Aku tahu,
Baru saja aku pulih dari luka lalu
Sedang kunikmati bahagia tak jemu-jemu
Hatiku bertalu-talu
Kulihat sinar matamu
Lemah lembut tutur katamu
Aku hentikan perahu
Mungkinkah engkau yang akan datang, cintaku?

image

Formulanya Saja


Apa itu romantisme?
Aku seumpama koki yang tak tahu resep
Formulanya saja aku selalu gagal

Bagaimana rumus mencintaimu?
Aku bagai petani yang gagal panen
Hama ego menyerang waktu-waktu berharga kita
Formulanya saja aku selalu gagal

Dari manakah cinta dilahirkan?
Ibarat profesor aku gagal dalam penelitianku
Hipotesis dan analisisku mentah-mentah tak terbukti
Formulanya saja aku selalu gagal

Pertanyaan dan jawaban
Mereka selalu ingin dikawinkan
Sementara aku masih saja gagal
Memaknai formula yang orang namakan:cinta

image

Hentikan


Apa yang kau cari di sinar mataku?
Bukannya kerling matamu lebih menggoda makhluk bernyawa?

Apa yang sebenarnya kau ingin temukan dari sudut pandangku?
Aku bukan tujuan apalagi pelabuhan

Hentikan tarian mesra terbungkus bujuk rayu
Aku bukan lelaki dalam imajinasimu

Kitalah Kilau


Apakah malam terlalu panjang untuk kita berdua?
Bukan kita isi dengan cumbu dan rayu
Melainkan kata dan puisi yang syahdu

Biar saja para makhluk astral iri
Asal kita berdua tetap mendekat
Sini, sini, kugenggam tanganmu erat

Kita memang bukan bintang kembar
Yang salah satu meledak hingga pecah menyerpih
Kitalah kilau yang bersinar berdua

Apakah menanti pagi terlalu lama untuk kita berdua?
Bukan kita isi dengan menanti perpisahan sendu
Melainkan diskusi relasi yang terus menyatu

Biar para peramal terus menangisi
Asal kita berdua tetap melekat
Sini, sini, ku dekap kau erat

Kita memang bukan para penyabar
Yang selalu santun tak pernah pecah emosi
Setidaknya kitalah kilau sinar yang saling mencintai dalam cahaya

image

Pada Suatu Paskah Kau Menggenggam Tanganku


Pada suatu Paskah kau menggenggam tanganku
Saat itu kita lari terburu-buru
Setelah salam Pendeta yang syahdu
Masih terngiang kidung-kidung merdu

Hanya kita berdua berbincang seru
Ah maksudku, ceritamu yang seru
Aku sabar mendengarkanmu
Memandangi binar mata dan senyum simpulmu

Kau tak henti bercerita tentang ibumu
Yang sedih sampai yang lucu
Sementara aku hanya diam sendu
Sambil membayangkan bagaimana wajah ibuku

Pada suatu Paskah kau menggenggam tanganku
Sambil kau ceritakan tentang nada-nada rindu
Semua masih tentang ibumu
Yang pergi pada suatu pagi di hari Minggu

Sebenarnya tak pernah ku pahami itu
Karena ibuku tiada saat melahirkanku
Tak pernah kulihat ibuku
Hingga kini menjadi misteri pemahamanku

Melihatmu asyik mencumbu rindu
Aku tak pernah ingin terburu-buru
Selalu kunantikan ceritamu
Seolah tak pernah habis waktumu

Pada suatu Paskah kau menggenggam tanganku
Setelah kita lari terburu-buru
Sabar kunanti waktu untuk melamarmu
Di tengah kau asyik dengan dirimu dan melupakan aku sedang bersamamu