Tak Becus


image

Aku tahu, aku bukan lelaki pertama
Bukan Adam yang tercipta, hanya satu
Membuat bahtera relasi saja aku gagal
Aku bukan Nuh yang terpilih setia
Mungkin aku sama dengan ribuan manusia lain di zamannya
Yang tenggelam dalam banjir badang kegagalan

Aku bukan Henokh
yang lelakunya mencuri perhatian Khalik
hingga terangkat ke surga
Menjadi Abraham saja aku tak bisa
Aku bukan pemercaya seratus persen
Maka aku salut kepada Zafnath Paaneah
Dia lari dari nafsu durjana
Jika itu aku, masuklah sudah, bersama istri Potifar

Aku bukan Musa yang berhasil membawa keluar bangsanya
Membelah laut Teberau, membebaskan dari perbudakan
Diberi tiang awan, tiang api sebagai pelindungan
Mungkin aku seperti Saul
Raja yang gagal setia meski telah diurapi
Aku tak segagah Raja Daud dan seromantis permainan kecapinya
Mungkin aku kepingan kegagalannya di hadapan Batsyeba

Tak pantaslah aku menjadi kawan Daniel bersama Sadrakh, Mesakh dan Abednego
Sudah habis aku dimakan singa dan terbakar dalam dapur api karena ketidaksetiaanku
Tak mampu aku sebijaksana penulis kitab Pengkotbah
Tak kan paham pula aku dengan nubuatan Nabi Yesaya
Karena aku najis bibir dan kotor lelaku
Mungkin sudah di dalam perut ikan selama-lamanya,
Tak hanya 3 hari saja seperti Yunus

Mungkin cibiranku seperti Herodes
Kala datang kabar baik, terbit Bintang di timur
Menjadi domba dekat palungan saja, aku tak pantas
Maka aku paham, tak pernah ada dalam kumpulan dua belas rasul
Zakheus saja dipanggil dan diampuni dosanya
Akupun tak layak seperti Lazarus yang dibangkitkan
Atau perempuan sundal yang diampuni

Aku sering berkhianat lebih dari Yudas Iskariot
Memungut remah roti saja kukira terlampau mulia
Mustahil aku menjadi jemaat mula-mula
Sudah mati pula aku bersama Ananias dan Safira karena ketidakjujuranku
Lebih pantaslah aku dirajam batu ketimbang Stefanus yang setia
Menjadi pelayan Rasul Paulus-pun, aku tak layak

Aku kotor dan berlumpur, hitam dan tak bersinar
Tak dapat aku mengeja cinta selamanya
Tak bisa kuraih hidup kekal
Habislah aku jika aku mencoba berbuat kebajikan,
karena tak pernah aku sanggup menggapainya

Hingga kudengar pada suatu hari
Lirih suara yang memanggil-manggil
Perlahan semakin jelas, suara itu memanggil namaku
Inikah suara yang sama saat mengucap “Sudah selesai”?
Atau suara yang sama saat memanggil Saulus?
Apakah aku diampuni seperti Petrus yang menyangkal hingga ayam berkokok 3 kali?
Suara itu semakin jelas mendatangi
Mesias hadir dan tangisku mengharu biru.
Aku lahir baru karena yang lama telah berlalu dan yang baru sudah datang

Memang tak pernah becus aku mencintai-Mu
Karena ternyata, Kau yang lebih dahulu mencintaiku

Merangkai


image

Cahaya tak terlalu benderang menyapa
Semburatnya menyiratkan fajar kan tiba
Ada hangat dalam kasih mesra
Laku lajak berbagai manusia
Mana bisa terus berbahagia
Jika api amarah terus menyala
Mana bisa durjana tak merajalela
Jika sungut-sungut menjadi raja
Siapa bisa menjamin bahagia?
Apalagi sepanjang hidup di dunia
Memang mentari akan terus menyapa
Tak pernah terlambat sinarnya menerpa
Tapi apa bisa bahagia datang begitu saja?
Ujug-ujug hadir tanpa usaha
Jika tak pernah merenda bahagia
Merangkai setiap harinya
Dari peristiwa sesederhana
Bahagia bisa datang kapan saja
Banyak pencarian dari berbagai manusia
Alasannya agar penuh cinta
Tapi apakah hanya cinta dan cinta
Seolah itu saja yang terus membara
Apakah kasih mesra terlupa
Saling memberi antar manusia
Tak peduli bersolek atau sederhana
Bahkan sesederhana fajar pagi menyapa
Banyak manusia mencari bahagia
Hanya bahagia tanpa makna
Lupa sesederhana napas kita
Hembusannya itu juga wujud bahagia
Wujud cinta dari Pencipta
Yang sering kita lupa

Filosofi Kopi: Tiwus Perfecto! Intim Sekali Kehadirannya


Film adaptasi selalu punya problemnya sendiri bagi pembaca setia bukunya. Ini wajar, karena setiap pembaca punya imajinasinya masing-masing yang bisa jadi jauh berbeda dengan pembuat film. Kalau kata Richard Krevolin (dalam bukunya How Adapt Anything Into A Screenplay), pembuat film tidak berhutang apapun pada teks asli. Ini berarti mereka dapat sebebas-bebasnya menerjemahkan isi teks (cerpen, novel, biografi dan sebagainya) menjadi sebuah film. Namun pembaca setia seolah menjadi raja yang sering ‘menghakimi’ karya yang begitu mereka cintai itu. Apakah menjadi sangat berkesan ataukah malah buruk bagi mereka. Tidak bisa dipungkiri, paling tidak, penonton pertama film adaptasi adalah pembaca setia bukunya yang tentu penasaran apakah imajinasi mereka akhirnya mendekati dengan visualisasi filmnya.

Bagi saya yang merupakan pembaca beberapa karya Dee, tentu sering menantikan film-film adaptasinya beberapa tahun terakhir. Namun Filosofi Kopi adalah yang terbaik, yang berhasil menyapa dengan sangat intim. Pada dasarnya Filosofi Kopi adalah jenis adaptasi yang setia pada cerita pendeknya, namun beberapa bagian terasa menjadi adaptasi bebas yang tetap menyatu dengan kisah cerpennya. Mungkin boleh saya beri julukan sebagai adaptasi yang kreatif, sebagai perpaduan keduanya.

Filosofi Kopi memberi pengalaman menonton yang sangat intim bagi saya secara personal, karena kedekatannya dengan pengalaman pribadi dalam beberapa hal. Pertama, Papa saya bekerja di pabrik kopi sejak muda hingga kini saya dewasa. Berikutnya, saya pun memiliki kawan sejak kecil sama seperti Ben dan Jody (karakter dalam Filosofi Kopi) yang juga sedang bekerja sama dalam sebuah pekerjaan hingga kini. Ditambah pula, persis di lokasi yang sama di film, kami juga pernah berkonflik tentang sebuah masalah. Maka Filosofi Kopi sangat mengingatkan saya dengan banyak pelajaran hidup yang pernah saya dapatkan. Salah satunya, bahwa hidup harus tetap kita hadapi dengan berani meski rasanya pahit, ternyata nikmat juga jika kita tepat meraciknya. Sama seperti racikan sutradara Angga Sasongko, yang terasa tepat sekali racikannya hingga kita benar-benar merasakan nikmat kepahitannya. Alur cerita yang mengalir dengan enak, didukung para pemain, penataan art, sinematografi hingga semua elemen dalam film menjadi satu kesatuan yang berhasil menyentuh saya dengan sangat dekat.

Filosofi Kopi menjadi penting karena selepas menonton saya jadi ingin memeluk Papa erat sekali untuk berterima kasih. Serta bersyukur punya sahabat yang telah menginvestasikan hidupnya sejak usia 7 tahun untuk saling berbagi tentang hidup bersama saya hingga kini. Ini menjadi sebuah karya adaptasi yang perfecto. Beberapa pilihan sutradara yang menerjemahkan beberapa bagian dalam cerpennya tidak menghilangkan esensi dan emosinya. Sebagai pembaca, saya tetap merasa dekat dan sebagai penonton, saya merasakan pergerakan yang kreatif dari visualisasi cerpennya. Pun kopi Tiwus yang menjadi nyawa dari cerita menjadi benar-benar hidup. Maka adaptasi Filosofi Kopi ini saya sebut Tiwus Perfecto! Intim sekali kehadirannya.