Malam ini di gereja saya melihat beberapa orang bersaksi di depan bahwa mereka baru disembuhkan dari penyakit. Setelah kotbah, Pendeta berdoa untuk mereka yang sakit selama beberapa lama dan kami menyanyikan lagu penyembahan. Kemudian orang-orang yang merasa sudah disembuhkan maju dan menceritakan kesembuhan mereka. Salah seorang dari mereka ada yang berusia 69 tahun .
Saya jadi teringat akan Kakek dan Nenek saya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Mereka punya beberapa penyakit sebelum akhirnya meninggal. Saya tahu mereka meninggal di dalam Tuhan dan percaya mereka telah mengalami kedamaian abadi bersama Kristus dan kemenangan di dalam-Nya. Hanya saja terbersit di dalam hati, mengapa mereka tidak disembuhkan dan merasa benar-benar bugar terlebih dahulu seperti orang-orang yang disembuhkan ini? Sebenarnya saya tahu kira-kira jawabannya bahwa setiap peristiwa manusia adalah rancangan indah yang telah disiapkan. Maka saya mengabaikan pertanyaan itu. Kemudian jadi beralih ke sebuah pertanyaan mengenai diri saya sendiri, “Kira-kira saya hidup di dunia sampai usia berapa, ya?”
Berapa waktu yang diberikan Tuhan untuk saya di dunia ini? Apakah saya akan sempat mengejar semua impian selama saya hidup? Apakah saya akan mengalami sakit sebelum meninggal dan bagaimana saya meninggal nanti?
“Tuhan, umurku sampai berapa, ya?”
Tiba-tiba teringat tentang obrolan saya dengan seorang narasumber saat acara wawancara lalu. Dia adalah seorang Pendeta yang sedang menjelaskan sebuah acara yang akan diselenggarakan. Saya diingatkan bahwa segala hal kita alami di dunia ini akan berakhir. Namun apakah kita akan menyelesaikan hidup di dunia ini dengan kemenangan? Apakah kita benar-benar dapat menyelesaikan pertandingan hidup?
Bukan kemenangan berupa kesuksesan, kekayaan dan harta semata yang selalu digembar-gemborkan oleh para motivator selama ini. Namun kemenangan itu berupa kesetiaan sampai akhir menutup mata. Kesetiaan kepada Tuhan dengan senantiasa hidup benar.
Saya mungkin mengalami jatuh bangun kegagalan dalam kesetiaan saya kepada Tuhan. Namun poinnya, apakah saya tetap bangkit lagi dan terus mengusahakan kesetiaan saya kepada Tuhan?
Maka kini, pertanyaan saya menjadi : Tuhan, apakah saya bisa setia sampai mati nanti?
Dalam hati saya bertekad : saya harus bisa. Tidak dengan kekuatan saya sendiri, bersama sang Kekasih Jiwa ; Sang Kristus sendiri yang akan memegang kuat tangan saya.