Semalam, purnama tak menampakkan wajahnya. Ketika binar sinar bintang seolah mengerlingkan matanya. Masih bisa ia simpan betul binar itu sampai ke hatinya. Hingga sinar mentari pagi ini tiba. Ada sebuah beban yang seolah disimpan di dalam bejana. Secara positif dia sebut beban itu sebagai tanggung jawabnya. Sebagai sulung dia harus membantu Mama.
Menjelang Sincia, Rendi menyiapkan banyak kebutuhan untuk sanak saudara. Kalau kue Nian Gao[1], jeruk dan makanan lain adalah area Mama, maka Rendi cukup disibukkan dengan pembagian angpao merahnya. Maka pagi ini adalah pagi yang tepat untuk mencatat siapa saja yang akan mendapatkan angpao dari keluarganya. Tidak boleh ada yang terlewat, apalagi sengaja lupa. Jika tidak, akan menjadi buruk sangka. Kalau si anu tidak mendapat, si itu lupa tak diberinya, maka sopan santun akan dinilai buruk rupa.
Pagi yang tidak terlalu dini menyapa, mengundang Dani berkunjung ke rumahnya. Ada senyum dan bahagia. Sapaan hangat dan penuh kasih mesra. Dia datang memberi Soto Ayam untuk Mama Rendi tercinta. Dani memberi perhatian bagi sang saudara.
“Ko Ren, Soto buat Mama dari Ibu. Tak masukno, ya?[2]” Dani memberi dengan gembira.
“Oh, iya. Kamsia. Kamsia. Sori. Sik repot soro ini. Biasa. Mau Sincia gini, lak aku kabeh sing ngurus.[3]” Rendi menyambut dengan bahagia.
“Mama pergi?” Dani duduk di sebelahnya
“Biasa, ke Atom. Ada sing kurang, katae.” Rendi masih fokus dengan angpao Sincia, “Gini ini, nek Sincia. Radak repot tithik. Belon lagi ntik pigi ndek keluarga. Kalok keluarga Papae awakdhewek, rata-rata ndek Cungkuok. Lah keluargane Mama itu, sik akeh sing ndek sini. Akeh sing tua-tua. Ntik lek sing ini gak diparani, nggondok. Satue lagi, kalok misal kita kelupaan kasik bingkisan buah, nggondok sisan. Lak repot[4].” Dia hanyut dalam tawa ringannya.
“Namane jugak orang tua, Ko. Sing sabar ae.[5]” Dani berusaha tepa selira.
“Gini ini, jadi eling pas dulu dhewek sik podo cilik, ya.[6]” Rendi tertawa lagi santai, “Dulu, aku buenci pol ambek ibukmu! Anak mana sing rela Papane kawin lagi? Ambek Wana lagi. Duh, stres dulu rasane! Aku ndak piro ngerti dulu itu. Kenek apa Papa isa kawin lagi, gitu? Tapi ya uwes lah, ya. Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan isa maafno Papa. Lah yak apa lagi? Wong uwes kejadian, ya.[7]”
Dani ikut tertawa kecil bersama ceritanya.
Rendi melanjutkan kenangannya, “Tapi lek inget-inget jamane Ibuk-mu nulungi kita sak keluarga…. Aduh… Sik mrinding ini rasane. Gak bakal lupa. Waktu itu wakeh Wana tiba-tiba dateng ndek toko, sak gerumbul. Ngeri sik’an rasane lek inget. Ada sing mbawak parang, mbawak celurit. Uinget aku pas itu masio sik cilik. Aku lali dulu itu masalahe opo, sampek toko Papa digeruduk wong sak kampung gitu.[8]”
“Nurut ceritane ibu dulu, onok sing ngobong-ngobongi opo ngono, Ko.[9].” Dani turut larut dalam kenangan mereka.
“Pokoke ngeri. Kurang tithik ae, enthek kabeh kita. Ibuk-mu, dengan gagah berani, ngomong gini, ‘eh jancok kabeh. Iki keluargaku, yo. Masio Cino ngene-ngene gudhuk bajingan! Sopo sing bendino ngekek’i sarapan sego bungkus? Panganan sembarang yo kon emplok cangkemmu? Paribasane dhuwik-dhuwik rokok? Sopo? Jawaben.’ Haha.. Rock n roll emange ya, ibuk-mu itu, Dan![10]” Rendi mengekeh, larut dalam memori masa kanak-kanaknya.
Keduanya terdiam beberapa lama. Rendi masih sibuk memasukkan uang dalam amplop-amplop angpao Sincia. Hingga Dani lalu membuka obrolan lagi di antara mereka. Ada kehangatan kini tercipta. Kedua saudara tiri beda ibu itu, larut dalam kenangan pahit di masa lalu yang kini bisa mereka tertawakan bersama.
“Aku mbiyen cilik iku, sering bingung. Lah, Papaku Cino, ibuk-ku Jowo. Tapi nduwe mas sing tak panggil Koko. Lah aku iki Cino opo Jowo sih, buk?[11]” Dani kali ini tertawa lagi sampai terbahak-bahak dalam ingatannya.
Rendi menyambut tawa itu dengan riuh pula. Tak lama dia menyodorkan sebuah amplop merah namun kali ini lebih besar ukurannya. Dia berikan dengan sikap yang baik di hadapan Dani, saudaranya. Mulanya Dani menolak dengan santun pula. Ada perasaan canggung yang mampir di hatinya. Belum lagi kegelisahan yang tak dapat diuraikan dengan kata-kata.
“Uwes tahlah. Lek elu ndak nrima, ndak menghormati, loh.[12]” Rendy berusaha merayunya.
“Koko lak belum merit, kok uwes ngasih angpao aku sama ibuk? Lagian masih belum Sincia, Ko.[13]” Dani berusaha sopan menolaknya.
“Ini angpao, lu kasi buat Ibukmu pas malam Sincia nanti. Kan, ntik pas Sincia kalian katae mau pegi rumah Mbah ndek Jombang. Mumpung libur. Ndak kebagian angpao ntik. Kalo gini-gini gak usah kaku sama tradisi. Yang penting aku emang niate mau berbagi, Dan. Kamu lak dulurku dhewek, toh.[14]” Rendi meyakinkan saudaranya.
Dani lalu mengangguk dan berusaha menerima diiringi penghormatan sedalam-dalamnya.
“Angpao buat a’i Wana. Haha.. Dadi eling mbiyen cilik aku manggil a’i wana, a’i wana. Haha.. Ndak sopan yo, aku pas sik cilik.[15]” Rendi berusaha mencairkan suasana lagi, masih dengan cerita.
“Cino lek manggil wong Jowo ancen nggawe Wana. Tapi ambek Koko, mbok campur ae. Uwis A’i. Wana sisan! Haha….[16]” Dani larut kembali dalam tawa.
Tidak ada lagi kekakuan apalagi kekacauan jiwa. Di antara dua saudara tiri ini telah terjalin kasih sayang dan rasa bahagia. Kedamaian hati telah tiba seiring bermekarannya bunga Mei Hwa. Memasuki tahun yang baru, semakin mantaplah rasa persaudaraan dan terbitlah asa. Siapa sangka pertikaian dan ancaman luar biasa menjadi gerbang perdamaiannya. Biarlah para penari Barongsai yang turut merayakan persatuan penuh damai sejahtera. Papa Rendi dan Dani memang sudah tiada. Namun kedua keluarga terus melekat seolah tak dapat terpisah apapun juga. Bagai kue Nian Gao yang manis dan lekat-lekat rasanya, terus bersatu, rukun dan bulat tekadnya. Mereka kini siap menghadapi tahun yang akan datang dengan mencecap segala rasa.