Hujan sejak semalam memang semata bukan sesuatu yang konvensional. Tidak ada kesepakatan bersama namun memang inilah peristiwa aktual. Selalu turun hujan setiap akhir tahun yang entah rintik, entah deras maksimal. Ada yang senang, tak jarang ada yang sedikit kesal. Salah satunya Timbul si tukang sandal. Dia selalu giat meski bekerja secara personal. Menjual sandal dari kampung ke kampung dengan cara yang halal.
Timbul memandang langit seperti ada sesuatu yang opsional. Dia mencoba sabar meskipun sedikit kesal. Berdamai dengan hujan meski ini akan mempengaruhi finansial. Dia terus mencari cara agar mulutnya tidak mengutuk, “Sial, sial, sial!” Dia sendiri tahu bahwa ini yang membuat hatinya sebal. Namun apalah arti sebal jika tidak menemukan solusi yang esensial?
Di pinggir pasar, duduklah si tukang sandal. Semoga tak ada yang mengira dia adalah seorang berandal. Di depan tukang daging, pandangannya horizontal. Mereka tentu bukan kalangan intelektual. Meskipun mereka juga selalu bekerja dengan akal. Bagaimana menjajakan dagangan masing-masing dengan cara yang halal. Kedua pedagang kecil itu tanpa sengaja saling menatap sentimental. Seolah tukang daging menatap rasa sebal. Itu bagai tersirat dari sorot mata si tukang sandal.
Tukang daging mencoba tersenyum, “Sabar, mas. Pagi yang hujan seringkali bikin sebal.”
Dia lalu menghampiri si tukang daging melewati batas teritorial. Seolah kini mereka telah berada dalam satu wilayah internal. Si tukang sandal mengeluarkan barang dagangannya dengan natural. Satu pembeli cukup menambah finansial. Si tukang daging masih tersenyum sambil mengeluarkan uang untuk membayar sandal. Kini mereka siap berbicara monolingual. Bahasa saling mengerti satu sama lain, bagi mereka itulah yang paling esensial.
Kini si tukang sandal lumayan bisa tersenyum tanpa sebal. Dia mengangguk mencoba berterima kasih dengan rasional. Si tukang daging melanjutkan memotong daging-daging sapi itu dengan profesional. Ada ketertarikan tersendiri dari si tukang sandal. Senyum si tukang daging itu terlihat tulus, tidak abal-abal. Belum dia lihat satupun pembeli yang datang namun itu tidak membuatnya sebal.
Si tukang daging tersenyum kembali dengan natural. Kini dia mulai bercerita bahwa dahulu dia seorang pemarah yang hampir setiap hari merasa sebal. Hingga sebuah persitiwa menjadi cikal bakal. Itu menyadarkannya dan membuatnya berubah maksimal. Kala itu dia sedang marah dan menyebut diri orang paling sial. Dalam beberapa hari keuntungannya tak dapat mencukupi finansial. Hampir-hampir ia merugi dan menjadi orang paling cynical. Sampai dia melihat gadis kecil berambut ikal. Dia sedang menikmati separuh nasi untuk dimakan berdua dengan adiknya yang juga berambut ikal. Hatinya remuk melihat tawa gembira keduanya yang sungguh bukan artifisial. Padahal mereka miskin bagai rakyat jelata di jaman kolonial. Namun mereka menghargai yang sedikit itu sebagai peristiwa monumental. Sejak itu si tukang daging tidak lagi merasa sebal. Dia mencoba berterimakasih kepada Sang Agung yang memberi rejeki dengan aktual. PemberianNya di masa lalu, kini dan nanti sungguh continual.
Kini tersentak jugalah si tukang sandal. Bahwa dia sering terus merasa sebal. Pemberian Sang Agung kepadanya selalu nyata, bukan artifisial. Hujan pagi ini bukan penghalang pemberianNya yang sungguh continual. Si tukang sandal kemudian terhenyak mengingat bahwa malam nanti adalah malam natal. Sudahkah dia memberikan kepada-Nya sesuatu yang proporsional? Selamat pagi, malam Natal. Si tukang sandal kini menyadari sesuatu yang andal.