Dalam sebuah ibadah, seorang Pendeta bercerita bagaimana dia berusaha memperbaiki hubungannya dengan sang Bapak. Memang dia tidak pernah bersikap kurang ajar tapi tanpa dia sadari, dia sering meremehkan atau tidak respek. Misalnya saat sang Bapak memberi pendapat, tidak pernah dia dengarkan dan sering sekali menganggap bapaknya kolot, tidak modern sehingga tidak perlu dia turuti. Sampai suatu ketika, dia mendapatkan banyak masalah dalam keluarganya sendiri. Dia memang telah berusia sekitar 50 tahun namun tidak pernah respect kepada sang Bapak. Lalu dia sadar, bahwa butuh pemulihan dalam relasinya dengan sang Bapak. Bagaimana dia bisa menghargai isterinya jika dia tidak pernah menghargai Bapak dan Ibunya sendiri? Bagaimana dia dihargai isterinya sebagai seorang laki-laki jika dia sendiri tidak bisa menghargai Bapaknya sendiri sebagai seorang laki-laki yang harusnya dia hormati dalam keluarga?
Singkat cerita dia berusaha keras untuk bisa memperbaiki relasinya dengan sang Bapak. Satu kesempatan membawanya travelling berdua saja dengan Bapaknya di luar negeri. Dia senang sekali. Hari pertama dia foto semua kegiatannya bersama sang Bapak dan begitu menikmatinya. Namun di hari kedua dia mulai kesal dengan Bapaknya karena meski sudah berusia paruh baya, dia tetap diperlakukan seperti anak kecil. Disuruh makan, dilarang ini itu dan paling menyebalkan buat dia adalah saat di hotel, dia disuruh mandi. Egonya terluka. Jangankan mandi, sebagai laki-laki dewasa kalau dia disuruh memimpin negara saja dia sudah bisa.
Melalui berbagi proses dan kesempatan dibarengi dengan usaha akhirnya dia bisa memulihkan kembali hubungannya dengan si Bapak. Tanpa dia sadari, hubungannya dengan istri dan anak-anaknyapun juga dipulihkan.
Cerita tentang “disuruh mandi” bapaknya ini mampir di hati saya lagi pagi tadi. Saat saya selesai berolahraga di pusat kebugaran saya melihat seorang Bapak dan anaknya di tempat ganti. Anaknya berusia remaja. Si Bapak seperti sedang mengingatkan kepada anaknya itu agar mandinya cepat aja. Saya mendengar itu jadi merenung sejenak.
Saya pernah tidak, ya, disuruh mandi Papa saya? Ingatan saya melayang sambil mengingat-ingat. Tentu pernah saat kami ada acara dan harus sesegara mungkin berangkat. Tapi mungkin berbeda kondisi dengan cerita Pendeta tadi.
Ego saya tidak terluka saat disuruh mandi karena memang hubungan saya dengan Papa dalam kondisi baik-baik saja. Saya menghargainya sebagai seorang laki-laki yang bisa menjadi idola dan panutan saya sebagai laki-laki dewasa. Tetapi bagaimanakah jika relasi kita sedang tidak dalam kondisi baik dengan Bapak kita? Apa saja yang beliau katakan tentu tidak bisa mampir hati kita karena kita sudah sulit menghargai keberadaan Bapak kita.
Bagi saya pribadi, menghargai Bapak itu penting sekali. Ini sebagai tolak ukur saya bagaimana saya dapat memahami dan merasakan keberadaan Tuhan di dalam hidup saya.
Tuhan itu sudah seperti Bapak kandung saya. Dia dekat dan memelihara saya. Saya berpikir demikian karena saya dapat melihat Bapak kandung saya yang juga dekat dan selalu memelihara dan memerhatikan kebutuhan kasih sayang saya.
Menghargai Bapak kandung saya, yang saya panggil Papa juga penting bagi saya dalam memandang hidup ini. Kalau Papa saya saja tidak dapat saya hargai bagaimana saya menghargai pimpinan saya di kantor yang juga sebagai “orang tua” di tempat kerja? Apalagi menghargai sesama saya?
Kalaupun Bapak kita orang yang sulit diubah karakternya dan begitu menyebalkan bagi kita apakah kita juga terus menerus tidak punya hati untuk berusaha menghargai Bapak kita? Bukankah lebih mudah mengubah hati kita ketimbang menuntut Bapak kita yang telah berusia bahkan ada yang sudah sepuh untuk mengubah dirinya?
Sudahkah kita menghargai Bapak kita? Ataukah malah disuruh mandi saja kita sudah sakit hati?