Tahu Kukus Tanpa Garam


Ini kisah tentang para tahu
Semua orang tentu sudah tahu
Atau seringnya pura-pura tidak tahu

Orang mengolah tahu
Dengan rasa tahu
Mungkin dari awal memang sudah tahu
Atau menebak-nebak saja, meski tidak tahu

Ini kisah tentang mengolah tahu
Digoreng, dimasak, dikukus semua orang sudah tahu
Kenikmatan yang dikecappun masih terasa tahu

Orang mengolah tahu
Diberi garam atau bumbu, tetap bernama tahu

Ini kisah tentang tahu
Saat seseorang senang mengukus tahu
Dia tidak suka memberi garam bagi si tahu
‘Toh, dia tetap berwujud tahu

Kenikmatan rasa asli itu menempatkan tahu
Tetap menjadi tahu

Namun cibiran dan olokan untuk si tahu
Mereka bilang tak nikmat tak ada garam di dalam tahu
Apakah lupa atau pura-pura tidak tahu?
Meski tanpa garam, tahu tetaplah menjadi tahu

Kenikmatan garam menjadi ukuran sang tahu
Kegurihan rasa seolah ada, saat mengecap tahu
Padahal masih ada lidah-lidah yang sangat tahu
Keaslian rasa yang tetap nikmat di dalam tahu

Apa yang selama ini orang-orang tahu
seringnya diukurkan sama kepada si tahu
Apakah manusia jika di dalamnya ada hati yang sungguh
tahu?

Tak Selamanya Jomblo Itu Kelabu


Orang paling dikasihani di negara ini adalah : seorang yang belum menikah. Setidaknya itu pengalaman saya ๐Ÿ˜€

Beberapa waktu saya tentu sering terlihat kemana-mana sendiri. Menonton film sendiri, olahraga sendiri, ke gereja pun sendiri. Maka pertanyaan wajib basa-basi ala ala penduduk ย negeri ini, “Sama siapa?” “Pacarnya mana?” “Kok, belum punya pacar?” Paling juara menyebalkannya adalah, “Jangan terlalu pilih-pilihlah…” Errrr… Mari tepuk tangan sambil berdiri. Keren banget pertanyaan-pertanyaan seperti ini *SambilAsahPisau *PisauCukurTapinya. Ditambah pula dengan raut muka yang memandang seolah saya adalah fakir miskin dan anak-anak terlantar yang wajib dipelihara oleh negara.

Tunggu. Penderitaan tidak berhenti di sini. Kalau yang bertanya orang yang lebih dewasa (Misi… Cek, cek 1, 2, 3 : LEBIH TUA, HOEI! TUAK!) seringnya ditambahi, “Om dulu itu menikah umur, bla… la.. bla….” Wah, kotbah yang luar biasa *AmbilBantalGulingBesertaKasur. Mungkin mereka pikir mereka sedang membagikan nasehat jalan emas.

Orang mengukur orang lain dengan pola pikirnya sendiri.

Di negeri ini tersebutlah sebuah teori bahwa salah satu menjadi bahagia adalah dengan menikah (sebelum usia 30 secara khususnya).

“Jangan sampai terlambat menikah, loh.” ; “Kalau menikah terlalu tua, kasian anaknya.” Wow… ini lebih dari mengasihani. Ini sebuah pernyataan yang ingin menjadi tuhan. Kata “terlambat” dan “kasian”, mereka pikir mereka bisa menerbitkan matahari untuk saya dan menghembuskan udara untuk saya hirup?

Saya tentu ingin dicintai, disayangi, diucapi selamat pagi, selamat malam, selamat makan dan sejumlah selamatan lain. Ingin juga terkadang dicemburui dan sejumlah pengharapan lain yang mengolah rasa bernama : cinta. Saya pun telah beberapa kali menjalin relasi dan jatuh bangun dalam kegagalan. Namun garis kesendirian masih senang menemani. Sayapun telah menerima keadaan ini.

Bahwa menjadi bahagia tidaklah selamanya dengan menikah. Saya punya impian yang saya ingin wujudkan. Saya punya pengharapan lain.ย 

Di dalam otak saya isinya bukan “Menikah, menikah dan menikah…” Meski suatu saat juga ingin. Setidaknya belum menjadi prioritas sekarang. Saya sedang menikmati era kebebasan saya. Ini era yang saya nantikan sejak kecil, menjadi lelaki dewasa yang bebas dan menjalani hidup dengan berkarya.

Prioritas saya saat ini adalah berkarya. Ini impian saya sejak kecil. Sekali lagi : berkarya.

Maka tak selamanya jomblo itu kelabu ๐Ÿ™‚

 

Lagu “Kidung” ciptaan Chris Manusama ini memberikan penghiburan buat saya pagi ini (dengan mengganti kata “mendung” dan “kidung” dengan “jomblo” *Sisiran. Ada beberapa versi, silahkan menikmati ๐Ÿ˜‰

 

Aku Di Bibir Pantai


Di sini aku melihat pantai. Bebas, sebebas-bebasnya tanpa belenggu rantai. Tak peduli rutinitasku sejenak menjadi lalai. Asal dukaku pergi tercerai berai. Aku mencari sebuah mahligai. Maka di pantai inilah aku memandang sambil berandai-andai.

Kududuk memandang langit di sini. Telapakku menginjak pasir dengan berani. Biar kotor aku tak peduli. Kukumpulkan duka menjadi koloni. Siap kubuang segala sakit di sanubari. Setelah itu biarlah aku mendapat konpensasi. Tentu kebahagiaanlah yang ingin aku raih, biar masuk ke dalam diri.

Hari ini laut kusambangi. Tak mau lagi kuingat yang sakit-sakit apalagi beragam duri. Kalau bisa setiap kurasa sakit, aku pergi kemari. Setelah kukumpulkan lelah dan perih sampai satu kompi. Biar semua masuk ke dalam samudera bagai komiditi.

Semua orang terlalu membuat sakit hati. Hingga terasa pula di dalam jasmani. Kalau dihitung tak cukup dengan jari. Gesekan rasa membuncah menggenangi intuisi. Tak habis dikupas dengan investigasi. Kalau hati ini bisa merasa seperti kulit, mungkin sudah penuh dengan iritasi. Semua berbaris menjadi sebuah ironi. Semua rasa sakit ini siap diinventarisasi. Biar habis itu koloni! Semua hancur karena sebuah invasi.

Hati yang sering mendapat intimidasi. Khianat bahkan telah biasa dilalui. Baik sekecil intonasi, sampai sebesar pulau sesak berisi duri. Kalau saja bisa kuraih ionosfer, aku tentu bisa melesat semudah bidadari. Tapi apalah daku yang hanya sering bisa menyesali? Segala yang telah terlambat dan rusak di dalam esensi. Kini aku kosong tanpa isi.

Apakah kebahagiaan bisa dengan mudah mendapat eskalasi? Lalu seenak meledak dalam sebuah erupsi. Tentu aku tak masalah jika terus disakiti. Karena di dalam inti, bahagialah yang telah aku punyai. Namun apalah hamba kini penuh arti? Bagai hama yang telah mendapat eradiksi. Musnah total tak bersisa apa-apa lagi.

Maka aku datang mencari energi. Kuhadapakan diri memandang laut di sini. Pantai, pantai, pantai! Berilah aku sedikit dramatisasi. Paling tidak hatiku saja yang kini bisa merajai. Aku lelah menelan duri. Aku bosan berteman benci. Sakit dan pedih telah sering kutampi. Di sini aku mencoba lagi mempercayai. Biar bahagia masuk kembali memenuhi.

Pantai adalah pertemuan sejati. Kala rindu mencoba menjadi mahasuci. Pertemuan daratan dan lautan penuh arti. Mereka melepas rindu meski tak dapat saling memiliki. Elemen tanah dan air yang menghalangi. Maka aku senang memperhatikan dan menikmati. Aku merasa tak sendiri. Pertemuan laut dan dataran memang sungguh berarti.

Kubuang sakit dan perih yang lama kusemai. Aku basuhkan sajalah dengan samudera sebagai mantri. Mungkin dia lebih ahli. Sakit dan perih di dalam sini, kubuang pula bersama jasmani. Biar musnah keduanya, tiada arti lagi. Pantai, pantai, pantai! Kenang aku yang menyatu di sini. Aku tidak akan pernah menyesali. Di bibir pantai aku pernah menikmati bibirmu, mahadewi. Di bibir pantai kau terang-terangan telah mengkhianati. Di bibir pantai pula, semua aku akhiri, hari ini.

Disuruh Bapaknya Mandi


Dalam sebuah ibadah, seorang Pendeta bercerita bagaimana dia berusaha memperbaiki hubungannya dengan sang Bapak. Memang dia tidak pernah bersikap kurang ajar tapi tanpa dia sadari, dia sering meremehkan atau tidak respek. Misalnya saat sang Bapak memberi pendapat, tidak pernah dia dengarkan dan sering sekali menganggap bapaknya kolot, tidak modern sehingga tidak perlu dia turuti. Sampai suatu ketika, dia mendapatkan banyak masalah dalam keluarganya sendiri. Dia memang telah berusia sekitar 50 tahun namun tidak pernah respect kepada sang Bapak. Lalu dia sadar, bahwa butuh pemulihan dalam relasinya dengan sang Bapak. Bagaimana dia bisa menghargai isterinya jika dia tidak pernah menghargai Bapak dan Ibunya sendiri? Bagaimana dia dihargai isterinya sebagai seorang laki-laki jika dia sendiri tidak bisa menghargai Bapaknya sendiri sebagai seorang laki-laki yang harusnya dia hormati dalam keluarga?

Singkat cerita dia berusaha keras untuk bisa memperbaiki relasinya dengan sang Bapak. Satu kesempatan membawanya travelling berdua saja dengan Bapaknya di luar negeri. Dia senang sekali. Hari pertama dia foto semua kegiatannya bersama sang Bapak dan begitu menikmatinya. Namun di hari kedua dia mulai kesal dengan Bapaknya karena meski sudah berusia paruh baya, dia tetap diperlakukan seperti anak kecil. Disuruh makan, dilarang ini itu dan paling menyebalkan buat dia adalah saat di hotel, dia disuruh mandi. Egonya terluka. Jangankan mandi, sebagai laki-laki dewasa kalau dia disuruh memimpin negara saja dia sudah bisa.

Melalui berbagi proses dan kesempatan dibarengi dengan usaha akhirnya dia bisa memulihkan kembali hubungannya dengan si Bapak. Tanpa dia sadari, hubungannya dengan istri dan anak-anaknyapun juga dipulihkan.

Cerita tentang “disuruh mandi” bapaknya ini mampir di hati saya lagi pagi tadi. Saat saya selesai berolahraga di pusat kebugaran saya melihat seorang Bapak dan anaknya di tempat ganti. Anaknya berusia remaja. Si Bapak seperti sedang mengingatkan kepada anaknya itu agar mandinya cepat aja. Saya mendengar itu jadi merenung sejenak.

Saya pernah tidak, ya, disuruh mandi Papa saya? Ingatan saya melayang sambil mengingat-ingat. Tentu pernah saat kami ada acara dan harus sesegara mungkin berangkat. Tapi mungkin berbeda kondisi dengan cerita Pendeta tadi.

Ego saya tidak terluka saat disuruh mandi karena memang hubungan saya dengan Papa dalam kondisi baik-baik saja. Saya menghargainya sebagai seorang laki-laki yang bisa menjadi idola dan panutan saya sebagai laki-laki dewasa. Tetapi bagaimanakah jika relasi kita sedang tidak dalam kondisi baik dengan Bapak kita? Apa saja yang beliau katakan tentu tidak bisa mampir hati kita karena kita sudah sulit menghargai keberadaan Bapak kita.

Bagi saya pribadi, menghargai Bapak itu penting sekali. Ini sebagai tolak ukur saya bagaimana saya dapat memahami dan merasakan keberadaan Tuhan di dalam hidup saya.

Tuhan itu sudah seperti Bapak kandung saya. Dia dekat dan memelihara saya. Saya berpikir demikian karena saya dapat melihat Bapak kandung saya yang juga dekat dan selalu memelihara dan memerhatikan kebutuhan kasih sayang saya.

Menghargai Bapak kandung saya, yang saya panggil Papa juga penting bagi saya dalam memandang hidup ini. Kalau Papa saya saja tidak dapat saya hargai bagaimana saya menghargai pimpinan saya di kantor yang juga sebagai “orang tua” di tempat kerja? Apalagi menghargai sesama saya?

Kalaupun Bapak kita orang yang sulit diubah karakternya dan begitu menyebalkan bagi kita apakah kita juga terus menerus tidak punya hati untuk berusaha menghargai Bapak kita? Bukankah lebih mudah mengubah hati kita ketimbang menuntut Bapak kita yang telah berusia bahkan ada yang sudah sepuh untuk mengubah dirinya?

Sudahkah kita menghargai Bapak kita? Ataukah malah disuruh mandi saja kita sudah sakit hati?