OBSESI LAMPU HIJAU


 

Setiap pagi, dalam perjalanan menuju tempat kerja, paling tidak aku melewati 8 lampu lalu lintas. Memang tidak semua lampu lalu lintas ini menampilkan ‘countdown’ (waktu mundur), yang bisa memberi petunjuk bagi pengguna jalan, kapan waktu untuk berhenti dan kapan waktu untuk berjalan kembali.

 

Saat waktu lampu hijau sudah hampir berakhir, semua kendaraan berlomba-lomba untuk segera melewati jalan itu. Mereka menambah kecepatan semaksimal mungkin agar bisa segera melewati jalan itu. Tanpa sadar, masing-masing pengendara akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mereka akan dengan garang meng-klakson pengendara lain yang ‘seolah’ menghalangi jalan mereka. Tidak peduli apapun yang terjadi, pokoknya mereka bisa segera melewati lampu hijau itu.

 

Peristiwa ini membawaku pada satu perenungan. Dalam kehidupan sehari-hari pun seringkali kita melakukan hal demikian. Obsesi kita untuk mencapai satu tujuan, membuat kita lupa. Lupa, kalau-kalau di sekitar kita ada orang lain. Lupa bertanya, apakah obsesi kita tidak merugikan orang lain. Pokoknya kalau kita menginginkan sesuatu, keingan itu harus tercapai. Obsesi dalam hal-hal sepele sampai peristiwa yang berdampak besar pun sering membuat kita lupa kalau ada hubungannya dengan ‘Obsesi pribadi’.

 

Pertanyaan berikutnya adalah, sebuah tantangan buatku sendiri ketika aku punya ‘obsesi pribadi’. Tentu saja aku sering lupa orang lain di sekitarku saat aku punya obsesi pribadi. Aku sama seperti pengendara di jalan yang ingin segera melewati lampu hijau itu. Intinya sekarang adalah sebuah ‘penguasaan diri’. Hal ini yang harus selalu aku teriakkan dalam diri, “Hei! Itu obsesimu! Bagaimana dengan orang lain? Bagimana dengan kehendak PENCIPTA? Apakah sudah sama?” Setidaknya pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa membuatku berpikir kembali dan harapanku: ‘bisa mengendalikan diriku sendiri’. (*ditulis Jumat, 18 juli 2008)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAGAIMANA KALAU MISALNYA, AKU BERSAMA DENGAN SESEORANG, TAPI DIA SAMA SEKALI TIDAK MENGANGGAPKU?


 

 

 

Setiap orang bisa belajar dari orang lain. Tidak memandang siapa orang itu. Pejabat atau gelandangan, buyut atau anak baru lahir. Aku juga belajar sesuatu dari seorang anak yang baru lulus SMA. Aku sudah lama kenal anak ini, tapi belum pernah ngobrol. Kemarin kami terlibat dalam obrolan basa-basi, mulanya. Namun kemudian masuk dalam diskusi tentang kehidupan dan kondisi batin masing-masing. Dia banyak berbagi tentang kehidupan ‘baru’-nya. Bagaimana pertama dia mengenal Sang PENCIPTA ‘secara pribadi’ sampai perasaannya masuk lingkungan baru. Dari ceritanya, aku seperti bercermin. Ternyata kami sama-sama golongan orang bertemperamen ‘Melankolik’.

 

Sesuatu yang menjadi baham pemikiranku akhir-akhir ini adalah: “Aku tidak suka berada dalam posisi sendiri”. Mulai tahun ini, aku merasa  hubungan batinku dengan dua sahabatku sudah putus. Mereka punya sudah punya ruang privasi sendiri dan kehidupan baru yang akan mereka bangun. Betapa susahnya aku menyesuaikan kondisi seperti ini. Ditambah pula, aku masuk dalam lingkungan kerja, yang mengharuskan selalu sendirian, selama berjam-jam. Aku yang terbiasa bekerja dengan banyak orang (berinteraksi dan berkomunikasi), harus berhadapan hanya dengan komputer dan perangkat elektronik lain. Tentu saja bukan sesuatu yang mudah yang harus aku lewati.

 

Anak yang aku ceritakan tadi mengeluarkan satu statement yang membuka hatiku. “Oh, kakak sering sendirian, ya?…. Ehm,… Jadi punya banyak waktu sama TUHAN, dong!…. Kalo kita bareng sama banyak orang, biasanya kita sering lupa sama PENCIPTA kita…..”

WOW! Aku baru menyadari sesuatu. Sejak aku sering sendirian, aku mulai terikat dengan ‘saat teduh pagi’, sih…

 

Anak ini kembali mengingatkan, “Hei, kak, ga boleh bilang sendiri. Kita tuh minimal 2 orang: Kita dan Tuhan…”

Betapa sering aku melupakan hal ini. Selama ini aku menganggap aku hanya punya ruang privasi sendiri. Ini berarti, aku sama sekali tidak menganggap keberadaan PENCIPTA yang selalu ada bersamaku. Bagaimana kalau misalnya, aku bersama dengan seseorang, tapi dia sama sekali tidak menganggapku? Tentu saja aku akan kecewa, bahkan sakit hati.

Hey! Selama ini PENCIPTA selalu bersama denganku.

 

 

“Do not be afraid–I am with you! I am your God–let nothing terrify you! I will make you strong and help you; I will protect you and save you. I am the LORD your God; I strengthen you and tell you, ‘Do not be afraid; I will help you.’  ISAIAH 41.10,13

 

(*ditulis Kamis, 17 juli 2008)

 

 

After This Our Excile


(directed by Patrick Tam)

Terkadang Kita Harus Mengerti Orang Tua Kita

(tulisanku 23 januari 2006)

MATAKU terpana, pikiranku melayang penuh tanya ketika credit tittle film ini diiringi theme song mulai mengalun. Kurang lebih sekitar 2 jam aku mengikuti alur cerita film ini dan banyak hal pesan moral yang aku dapatkan. Jujur, film ini menginspirasi dan menengur hati. Selain dibarengi dengan sinematografi yang apik cenderung human interest.

Sebuah keluarga kecil yang terdiri atas ayah, mama dan anak seusia (kira-kira) SD kelas 5 terasa kacau menurutku. Film diawali dengan percobaan melarikan diri seornag mama ini –pergi meninggalkan keluarganya tetapi kemudian suaminya menyeret dia kembali pulang. Tentu saja sang suami sangat bingung dengan sikap istrinya ini. Mengapa ia begitu tega meninggalkan dia dan anak yang dia cintai?
Sang istri mengemukakakan alasan, bahwa ia merasa tidak dicintai karena sang suami tidak selalu ada disampingnya. Sang suami pun membela diri bahwa ia bekerja untuk dia dan anaknya. Sang istri menimpali lagi bahwa ia tidak menerima penuh gaji suaminya yang bekerja sebagai koki sebuah restoran itu karena sebagian dibuatnya judi, sehingga sang istri harus bekerja keras juga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

Sang suami putus asa. Ia mati-matian meyakinkan sang istri bahwa ia begitu mencintai dia dan berjanji tidak berjudi lagi dan meyakinkan bahwa ia akan menyediakan waktu buat keluarga. Sang istri sudah tidak bisa percaya lagi kepadanya. Sang suami sampai berniat membuktikan cintanya dengan memotong jemarinya. Untung saja itu tidak sampai terjadi sang suami memeluk istrinya penuh cinta. Ia bertanya apakah hati istrinya itu telah berpaling kepada pria lain sehingga ia berniat pergi. Sang istri mengelak.

Singkat cerita, ternyata benar. Sang istri pergi juga meninggalkan keluarganya karena pria lain. Sang suami marah dan cinta itu menjadi kebencian. Korban dari ini lagi-lagi adalah anak mereka. Anak itu menangis dan merengek pada Papanya untuk mencari Mamanya. Namun sang Papa tidak measa perlu lagi melakukan itu karena bagi dia Mamanya sudah tidak cinta lagi kepada mereka.

Hidup Papa dan anak ini menjadi tidak karuan. Hutang yang banyak membuat mereka harus pergi mengasingkan diri. Penderitaan demi penderitaan harus mereka alami. Kesulitan ekonomi dan berbagai tekanan membuat kondisi mereka terpuruk. Ketika pada titik tersulit inipun sang Papa bukannya tetap hidup di jalan yang benar namun ia tetap ‘bandel’. Sang Papa pergi berkencan dengan wanita lain dan tidak kunjung mencari pekerjaan. Anak ini mengalami tekanan batin yang sangat. Ia sampai berhenti sekolah dan terpaksa mencuri jam tangan milik orang tua teman sekolahnya. Anak ini terus murung dan mencari keberadaan mamanya. Pada satu kesempatan ia bertemu mamanya dengan kondisi yang jauh berbeda : berkecukupan dan tinggal di tempat yang nyaman. Anak ini lantas tidak senang begitu saja dan tinggal dengan mamanya karena ia tahu mamanya sudah menikah lagi dan sekarang telah mengandung seorang anak dengan pria lain. Ia kembali pada Papanya dengan perasaan kecewa sekali.

Kembali bersama papa bukan berarti bahagia pula. Ia selalu berada pada posisi sulit. Sampai suatu kali papanya benar-benar akan mendapat pekerjaan di tempat yang jauh. Tanpa menginformasikan pada anaknya ia berniat pergi dan meninggalkan anaknya sendirian di penginapan. Niat itu gagal karena ia bertemu penagih utang dan ia dipukul sampai babak belur karena tidak dapat membayar hutangnya. Sang papa kembali ke penginapan dan anak itu merawat papanya penuh cinta.

Kondisi sulit terus menimpa. Sang papa terpaksa menyuruh anaknya ini mencuri di rumah tetangga, rumah teman dan rumah orang tak dikenal. Mereka gagal mendapatkan uang. Korban kali ini lagi-lagi anak yang berusaha mengerti orang tuanya ini. Ia dipukul babak belur oleh pemilik rumah dan masuk ke penjara. Dalam kondisi sulit ini, ia tidak melihat snag Papa berada di sampingnya. Ia menjadi marah. Ketika sang papa membesuknya di penjara dan meminta maaf, ia bahkan makin memuncak kemarahannya sampai melukai ayahnya.

Pada akhir cerita, snag anak sudah dewasa dan keluar dari penjara. Ia tidak terlihat dendam lagi. Ia bahkan dengan antusias mencari papanya. Ia ingin memeluk erat Papanya. Tetapi ia tidak mendapati papanya itu.

Point yang aku dapatkan : seharusnya sang anak merasa dendam dan tidak mau lagi bertemu orang tuanya itu. Ia tidak memilih itu. Ia mengasihi orang tuanya dan mencoba mengerti. Ia ingin papanya kembali hidup di jalan yang benar. Terkadang aku selalu ingin dimengerti oleh orangtuaku…dan terkadang terlambat untuk mengerti apa yang ada di benak mereka. Film ini menjelaskan sisi kehidupan lain ada seorang anak tetap mengasihi orangtuanya bahkan ketika ia tidak pernah dapat kasih sayang yang cukup ia rasakan.