Cek Toko Sebelah: Sentuhan Sentimental tentang Keluarga


Sejak kecil, saya suka sekali Kisah Anak yang Hilang. Saat melihat teaser pertama film Cek Toko Sebelah ini saya sudah jatuh cinta karena mirip dengan kisah ini. Seorang Bapak dengan dua anak laki-laki: si sulung dan si bungsu. Si Bapak ingin mewarisi hartanya (berupa toko yang dibangunnya dengan usaha keras bersama mendiang istri), kepada si anak bungsu.  Drama kisah 3 laki-laki ini bagi saya menjadi mendalam, karena keterikatan saya dengan Kisah Anak yang Hilang. Meskipun film ini akhirnya tentu berbeda jauh dengan kisah favorit saya tersebut.

Balutan komedi di dalam Cek Toko Sebelah bagi saya terasa menyatu dengan plot utama yang pesannya sangat “nonjok.” Erwin, si anak bungsu yang mendapat “kejutan” yang sebenarnya sebuah tanggung jawab besar berupa toko Papa-nya. Kesempatan ini datang di saat kariernya melejit. Tentu sebuah pilihan sulit, bukan? Sementara si sulung: Yohan, terlihat lebih mengingini toko itu untuk dikelolanya. Lalu mengapakah sang Papa lebih memilih si bungsu? Seperti dalam kisah Anak yang Hilang, si sulung yang merasa lebih perhatian kepada keluarganya marah atas sikap sang Papa yang seolah memilih si adik, ketimbang dirinya. Apalagi dengan alasan ketidakmampuan dari sisi ekonomi. Betapa “kemapananan” menjadi ego utama seorang laki-laki ini, menjadi hal yang menarik. Kisah bergulir dengan plot yang berliku, perlahan namun pasti ternyata berhasil menyentil sisi-sisi sentimental Kita sebagai seorang anak.

Secara personal, Cek Toko Sebelah yang ditulis dan disutradarai Ernest Prakasa ini berhasil mengingatkan hal yang berarti dalam hidup saya: keluarga. Sejak lulus kuliah, saya banyak memikirkan karier, hobi, dan sekolah lagi. Hingga sudah selesai program Magister saya ingin memikirkan untuk sekolah lagi karena betapa saya haus sekali akan ilmu yang sedang saya geluti. Ternyata saya kurang memikirkan lebih detil tentang satu hal: orang tua yang mencintai saya. Tokoh Yohan dan Erwin seperti mampir dekat dan mengetuk hati saya. Saya sering berpikir dari sudut pandang saya sendiri, bagaimana membuat orang tua bahagia. Maka sepotong dialog Koh Afuk (Papa Yohan dan Erwin dalam film ini) membuat ‘JLEB! JLEB! JLEB!’ sekali. Kedua karakter ini (bagi saya) ditulis untuk mengingatkan Kita semua, seberapa dalam Kita mengasihi kedua orang tua dan banyak memikirkan tentang keluarga Kita? Ataukah Kita terlalu sibuk dengan diri Kita sendiri? Cek Toko Sebelah, salah satu film Indonesia terbaik yang mampir di hati saya.